Monday, December 24, 2012

Kisah Cinta Rafa dan Chelsea

Banyak yang bilang, "kalau benci jangan terlalu benci, nanti malah jadi cinta mati", tapi banyak pula yang tidak membenarkan hal tersebut. Mereka yang tidak mempercayai hal tersebut berfikir, mana mungkin suatu hal dapat berubah menjadi hal yang berbanding 180 derajat dalam waktu singkat, termasuk saya. 


Sampai akhirnya mereka melihat bagaimana Chelsea mencukur Aston Villa delapan gol tanpa balas. Cukur gundul sampai licin lebih tepatnya, selicin kepala Pierluigi Collina. Istimewa? Tidak juga sih. Karena Chelsea memang tim yang hobi dengan kemenangan yang banyak gol, ketimbang bermain aman yang penting 3 poin. Dua musim lalu mereka juga melakukan hal yang sama terhadap Wigan. 

Memang tidaklah istimewa, tapi kemenangan ini cukup "penting", karena dapat merubah penilaian fans The Blues terhadap sang pelatih, Rafael Benitez Maudes Gondez Mendes. Yap, itu manager yang seperti Tom. Apabila Chelsea dianalogikan seperti Jerry.

Bayi umur seminggu juga bakal tahu kalau Tom dan Jerry itu nggak akan bisa akur, apalagi bekerjasama. Namun teori itu tidak berlaku bagi Roman Abramovich. Raja minyak jelantah asal Rusia itu dengan mudah menempatkan Rafa sebagai orang nomor dua di Stamford Bridge. 

Nomor dua bukan berarti sebagai assistant manager. Nomor dua karena posisi terkuat di Chelsea sudah terpesan atas nama dirinya sendiri. Memang dasar orang kaya, dia dengan mudah melupakan conflict history antara clubnya dengan Rafa. Seperti bagaimana dia lupa dengan beda usianya dengan Dasha Zhukova.

Tak perlu dipertanyakan lagi bagaimana konflik antara Rafa dan Chelsea secara keseluruhan. Mulai dari Jose Mourinho, pemain, fans, sampai tukang sapu Stamford Bridge sekalipun. 

Bagaimana pria berkebangsaan Spanyol itu mengatakan bahwa Drogba terlalu lemah, sehingga mudah sekali terjatuh. Meskipun dibalas dengan selebrasi meluncur tepat di depan Rafa oleh sang pemain (player conflict).


Tak cukup dengan pemain yang berjumlah puluhan, baginya haters segitu masihlah kurang. Dia juga membandingkan fans Chelsea dengan Liverpool. Mengatakan bahwa fans Liverpool adalah fans sejati, meskipun juga tidak mengatakan fans Chelsea glory hunter secara tersurat (fans conflict)




Konflik dengan Mourinho sudah sangatlah jelas, yang terbaru adalah bagaimana Mou bekerjasama rapi dengan mantan anak asuhnya Maicon pada sebuah press conference. Ketika mereka bertemu di pertandingan fase grup UCL antara Madrid dengan Manchester City.

"Teman anda (Benitez) akan melatih Chelsea", ujar Maicon.

"Yang gendut itu? Kalau begitu Marco (Materazzi) seharusnya jadi assistennya", jawab Mourinho santai. Karena sebelumnya Rafa pernah menyuruh Materazzi untuk memasukkan kliping yang berisikan jumlah kemanangan Inter ketika dilatih Mou melalui bawah pintu ruang kerjanya (manager conflict).


Tukang sapu stadion? Mungkin ini (akan) terjadi karena mereka marah karena pekerjaan mereka terlihat seperti makan gaji buta ketika setiap hari melihat kepala bagian depan Rafa yang selalu bersih... Akan rambut (cleaning service conflict). :))

Memang sepak terjang Rafa di Chelsea tidaklah buruk, meskipun pada 3 laga pertama hanya mandapatkan 2 poin, tersingkir dari UCL, dan menjadi runner-up piala dunia antar club. Iya, tetap tidak begitu buruk (sekali). Namun juga tidak dapat dikatakan bagus hanya karena anak emasnya, Fernando Torres yang menemukan goalscorer instinct nya kembali. Ataupun karena kemenangan 2/3 kodinya dari Aston Villa, karena tetap hanya memangkas jarak mereka dengan United menjadi 11 poin. Karena memang tidak ada banyak perubahan dengan permainan Chelsea dibawah asuhan Roberto Pak Ogah Di Matteo.

So, setelah mempertimbangkan menggunakan teori cost-benefit, antara konflik mereka dengan sang manager beberapa tahun yang lalu dengan seberapa banyak pencapaian gol Torres. Akankah fans Chelsea akan sejalan dengan "raja" mereka? 


Yang telah lupa bahwa Rafa adalah orang terdepan yang pro terhadap ghost goal Luis Garcia di semifinal Liga Champions 2005.


No comments:

Post a Comment