Sunday, December 16, 2012

Kala Kali: Hanya Waktu yang Tak Pernah Terlambat

Tak pernah besar, tidak juga terlalu kecil. Cinta itu cukup.

Kala Kali: Hanya Waktu yang Tak Pernah Terlambat

Minder. Sebelumnya belum pernah nulis review buku, nggak kayak Yudha yang udah punya jejak-jejak reviewer buku, saya betul-betul anak kemarin sore tentang tulis-menulis resensi buku seperti ini. Tapi karena dorongan fungsi luhur serebral, area Werniche yang masih kompeten, kesadaran yang Compos Mentis, dan Glasgow Coma Score saya yang juga masih 15/15; akhirnya huruf demi huruf saya susun membentuk kata, kata demi kata menjadi kalimat, susuan kalimat membentuk paragraf. Oh, akhirnya saya nulis resensi buku!

Valiant Budi and Windy Ariestanty present: Kala Kali! “Judulnya menggelitik!” Itulah komentar pertama saya sewaktu woro-woro buku ini mulai muncul lewat kicauan Windy di akun twitternya. Waktu itu juga ia jelaskan tentang makna dari judul ini. “Covernya filosofis banget!” Komentar saya lagi ketika cover buku ini muncul di timeline twitter. Teratai dan sebuah pola etnik di belakangnya. Teratai sendiri memiliki banyak arti filosofis sebagai sebuah bunga, pun penggunaan teratai memang kental dalam makna keagamaan terutama Hindu dan Buddha.  I’m expecting a deeply inspiring read in this book.

Kala Kali terdiri dari dua buah cerita dari masing-masing penulis. Tidak, keduanya tidak berhubungan satu sama lain. Tema, genre, dan gaya penulisannya pun tidak dapat disamakan. Bagi saya tidak jadi masalah, saya menikmati cerita sebagai cerita itu seutuhnya, bukan sebagai sebuah buku. Tetapi memang jika ditilik dari konsep dan potensi Gagas Duet, akan lebih menarik jika kedua penulis sebagai kontributor memiliki keterkaitan dalam karya mereka yang dijadikan satu sampul seperti ini.
Beberapa kenangan berkelebatan dalam benak. Ada secercah rindu, tapi enggan bertemu.
Ramalan dari Desa Emas. Cerita pertama dari Valiant Budi, atau lebih sering dipanggil Vabyo. Mengisahkan tentang seorang Keni Arladi dan petualangannya di desa Sawarna. Dari tilikan pertama saya sedikit bingung apakah cerita ini adalah sebuah travelogue ataukah fiksi. Dengan tempo yang cepat dan intensitasnya terus naik, pembaca dibawa untuk memasuki sudut pandang Keni terhadap kejadian-kejadian yang serba tak-terduga di desa Sawarna (kata Yudha emang di daerah situ klenik nya kental banget bro!). Di tengah-tengah, cerita mulai berubah jadi semacam Final Destination yang bernuansa komedi dan sadarlah saya bahwa cerita ini fix adalah fiksi. Mencapai ending, aroma horror Final Destination mulai memudar dan kali ini pembaca diajak untuk mendalami karakter Keni lewat interaksi dan konflik-konfliknya.

Ramalan dari Desa Emas adalah cerita yang ringan, menghibur, dan penuh dengan elemen surprise.  Ending cerita ini memiliki twist yang menurut saya terkesan dipaksakan seolah jumped out of nowhere, sehingga makna dari cerita itu sendiri berkurang. Saya tidak bermasalah dengan ambiguitas ending cerita, malah saya menyukai ending yang se-ambigu film Before Sunset. Tentang twist, saya juga bisa dibilang penggemar twist cerita, seperti misalnya dalam film Identity. Oke, contoh yang saya sebutkan memang film semua, tapi menurut saya sebuah ending dan twist haruslah padu dengan konsep dan alur cerita yang dibangun dari awal. Berlaku untuk film dan buku. Karena didalamnya kita sama sama memproses cerita.
Matahari memang foto model yang menakjubkan. Tidak pernah banyak gaya, tapi punya sejuta pesona.
Bukan Cerita Cinta. Windy Ariestanty menceritakan sebuah romansa yang berpusat di dua tokoh utamanya, Bumi dan Akshara. Kedua tokoh adalah sahabat dekat, dipertemukan oleh hubungan editor-penulis, mereka sudah sangat mengenal satu sama lain. Sebagai konflik cerita, Akshara dikisahkan jatuh cinta dengan lelaki bernama Bima, jatuh cinta yang sejak awal diragukan kebenarannya oleh Bumi. Bumi sendiri berkenalan dengan Koma, seorang fotografer.

Saya miris bahas tentang cinta-cintaan hahaha. Untungnya Bukan Cerita Cinta adalah benar-benar bukan cerita cinta. Balutannya memang romansa, tetapi disini Windy lebih menekankan pada karakter. Pembaca dibawa jauh menyelami sifat, sudut pandang, ide-ide, dan dunia dari masing-masing tokohnya. Dengan perbendaharaan kata yang luas, sisipan quotes yang inspiratif dan penuturan yang cerdas, Windy berhasil membawakan premis cerita cinta-cintaan yang sederhana menjadi sebuah petualangan karakter. Alih-alih mengharapkan kisah yang bombastis, happy ending seperti umumnya cerita cinta, pembaca dibuat lebih penasaran dengan perkembangan karakternya. Apa yang terjadi dengan Akshara? Apa yang akan Bumi lakukan? Mengapa Bima? Layaknya manusia, tokoh-tokoh ini digambarkan multidimensi, abu abu, tidak melulu benar dan selalu ada cacat dalam sikap mereka.
Koma itu ibarat proses. Dan, titik adalah hasilnya
Keberhasilan memunculkan karakter yang komplit pasti sedikit banyak harus dibayar dengan tempo cerita. Ajeg (datar, nggak naik nggak turun) dari awal sampai akhir, mungkin cenderung membosankan bagi beberapa pembaca. Apalagi Windy membawa banyak perumpamaan dalam dunia literatur seperti kisah Sofia-Tolstoy, Anna Karenina, Cupid-Psyche, etc. But I enjoyed them nevertheless.
Terkadang orang bersikap realistis karena sadar ia tak punya banyak pilihan, bukan?

Rating:  
Ramalan dari Desa Emas: 2.5/5 
Bukan Cerita Cinta: 5/5

1 comment: